Sebuah kesenian rakyat Gayo yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra.
Ada yang berpendapat bahwa kata didong mendekati pengertian kata denang atau donang yang artinya nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian. Selainitu, ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata din dan dong yang memiliki arti Agama Dakwah.
Sebuah kesenian rakyat Gayo yang dikenal dengan nama Didong, yaitu suatu kesenian yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII.
Ada yang berpendapat bahwa kata didong mendekati pengertian kata denang atau donang yang artinya nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian. Dan, ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata din dan dong.
Din berarti Agama dan dong berarti Dakwah. Pendapat lain menyebutkan, Didong secara filosofis bermakna persatuan, artinya didong pada zaman dahulu dimanfaatkan sebagai wadah menyatukan generasi muda yang diwujudkan dengan seni dalam satu kampong sekaligus sebagai symbol kebanggaan kampong.
Ada juga yang menyebutkan didong bermakna enti dong (jangan diam/berpangku tangan). Artinya didong adalah salah satu bentuk ekspresi seni dari hasil kreativitas pemuda Gayo masa lalu yang tidak mau diam dan tidak mempunyai kegiatan, maka diciptakanlah kesenian didong.
Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya.
Pergelaran biasa diadakan di tempat atau ruang khusus sebagai pentas, misalnya tempo dulu di ruang luas rumah panggung (umah sara), di panggung buatan pada ruang terbuka, missal dihalaman, lapangan dan lainnya.
Didong dipertunjukkan oleh dua kelompok, masing-masing sejumlah dua puluh sampai dengan tiga puluh orang peserta bertanding semalam suntuk. Satu kelompok kesenian didong biasanya terdiri dari para ceh dan anggota lainnya yang disebut dengan penunung. Jumlahnya dapat mencapai 30 orang, yang terdiri atas 4-5 orang ceh dan sisanya adalah penunung.
Ceh adalah orang harus mampu menciptakan puisi-puisi dan mampu menyanyi. Penguasaan terhadap lagu-lagu juga diperlukan karena satu lagu belum tentu cocok dengan karya sastra yang berbeda.
Anggota kelompok didong ini umumnya adalah laki-laki dewasa. Peralatan yang dipergunakan pada mulanya bantal (tepukan bantal) dan tangan (tepukan tangan dari para pemainnya).
Namun, dalam perkembangan ada juga yang menggunakan seruling, harmonika, dan alat musik lainnya yang disisipi dengan gerak pengiring yang relatif sederhana, yaitu menggerakkan badan ke depan atau ke samping.
Kedua kelompok didong tersebut mengadu kemampuan antara lain, kefasihan bahasa, keindahan sastra, kemurnian irama, kemerduan suara, faktor-faktor gaya gerak, tepuk tangan yang gemuruh dan bersemangat sebagai rithme dari lagu/irama atau melodi didong itu serta tata tertib atau adab.
Oleh system pertandingan didong itu sendiri, seorang ceh juga dituntut memiliki kemampuan mencipta lirik-lirik yang diciptakan secara spontan (munapak), suatu hasil improvisasi dan kreativitas di tengah arena pertandingan yang tengah berlangsung.
Lirik-lirik spontan ini diperlukan untuk menyerang atau menangkis serangan lawan menyangkut isu atau tema yang tak pernah terduga sebelumnya.
Kemampuan menciptalirik spontan dan mendadak adalah kemampuan luar biasa yang terlahir oleh system pertandingan dodong itu, yang tidak sembarang orang memilikinya. Kemampuan ini akan dinilai oleh penonton dan terlebih lagi oleh para juri yang akan memberi kata putus menang-kalah pada akhir pertandingan di pagi hari.