Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan akan akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Senja di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ayati.
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Cintaku Jauh di Pulau
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri
Kawanku dan Aku
Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat
Siapa berkata-kata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa?
Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya art
Kepada Kawan
Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
Doa
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Kepada Peminta-minta
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
Tak Sepadan
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
Februari 1943
Cerita Buat Dien Tamaela
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut
Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan
Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau...
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
Hampa
Kepada Sri
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai di puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencengkung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti
PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
Sebuah Kamar
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”
Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
d luar hitungan: Kamar begini
3 x 4, terlalu sempit buat meniup nyawa
RUMAHKU
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu
27 april 1943
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…
1944
NISAN
untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
Oktober 1942
HUKUM
Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu
Seorang jernih memikul. Banyak menangkis pukul.
Bungkuk jalannya – Lesu
Pucat mukanya – Lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasa
Melecut supaya terus ini padanya
Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga
Pelik di angkasa : Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti-dimengerti!
Maret 1943
PENGHIDUPAN
Lautan maha dalam
Mukul denture selama
Nguji tenaga pematang kita
Mukul denture selama
Hinga hancur remuk redam
Kurnia Bahgia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk
Desember 1942
TAMAN
Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
Halus lebut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
Dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
Aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
Tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia
Maret 1943
NISAN
Untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
Oktober 1942
Penghidupan
Lautan maha dalam
mukul dentur selama
nguji tenaga pematang kita
Mukul dentur selama
hingga hancur remuk redam
Kurni bahgia
kecil setumpuk
sia¬sia dilindung, sia¬sia dipupuk
Desember 1942
DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semanagt yang tak bisa lari
MAJU
Ini barisan tak bergenderang¬berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sesudah itu mati
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalan ajal baru tercapai
jika hidup harus merasai
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
Februari 1943
Tak Sepadan
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahgia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk¬sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu pun juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ’kan apa¬apa
Aku terpanggang tingga rangka
Februari 1943
Sia-sia
Penghabisan kali kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan, untukmu.
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama. Tak hampir¬menghampiri
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak¬koyak sepi
Februari 1943
Ajakan
Ida
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang legah lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan
Ria bahgia
Tak acuh apa¬apa
Gembira¬girang
Biar hujan datang
Kita mandi¬basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi
Februari 1943
Sendiri
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan¬menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu. Ibu! Ibu!
Februari 1943
Pelarian
I
Tak tertahan lagi
remang miang sengketa di sini
Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.
Hancur luluh sepi seketika
Dan panduan dua jiwa.
II
Dari kelam ke malam
Tertawa¬meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
”Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari
Turut saja!”
Tak kuasa¬terengkam
Ia dicengkam malam
Februari 1943
Suara Malam
Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan ”Kebakaran di Hutan”*)
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda?
Mati. Barangkali kali ini diam kaku saja
dengan ketenangan selama bersatu
mengatasi suka dan suka
kekebalan terhadap debu dan nafsu.
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
jemu dipukul ombak besar.
Atau ini. Peleburan dalam Tiada
Dan sekali akan menghadap cahaya
.........................
Ya Allah! Badanku terbakar¬segala samar
Aku sudah melewati batas
Kembali? Pintu tertutup dengan keras
Februari 1943
Aku
Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943
Hukum
Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu¬abu
Seorang jerih memukul. Banyak menangkis pukul
Bungkuk jalannya – lesu
Pucat mukanya – lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasa
Melecut supaya terus ini padanya
Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa: Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti – dimengerti!
Maret 1943
Taman
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ’nusia
Maret 1943
Lagu Biasa
Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudera jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan ”Carmen” pula.
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai ”Ave Maria”
Kuseret ia ke sana....
Maret 1943
Kupu Malam dan Biniku
Sambil berselisih lalu
mengebu debu.
Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang
Ngeri ini luka¬terbuka sekali lagi terpandang
Barah ternganga
Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu
Barangkali tak setahuku
Ia menipuku.
Maret 1943
Penerimaan
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku kasih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
Maret 1943
Kesabaran
Aku tak bisa tidur
Orang omong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Delam mendinding batu
Dihantam suara bertalu¬talu
Di sebelahnya api dan abu
Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! Tidak jadi apa¬apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli
Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi
Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba
Maret 1943
Perhitungan
Banyak gores belum terputus saja
Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda
Caya
Langit bersih¬cerah dan purnama raya....
Sudah itu tempatku tak tentu dimana.
Sekilap pandangan serupa dua kelwang bergeseran
Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran
Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke
Sukabumi...!?
Kini aku meringkih dalam malam sunyi
16 Maret 1943
Kenangan
Untuk Karinah Moordjono
Kadang
Diantara jeriji itu¬itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah! Tercebar rasanya diri
Membubung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu¬itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia¬nyia
19 April 1943
Rumahku
Rumahku dari unggun¬timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun¬timbun sajak
Dari sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis jambu
Jika menagih yang satu
27 April 1943
Hampa
Sepi di luar, sepi menekan¬mendesak
Lurus¬kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa¬berani melepas diri
Segala menanti. Menanti¬menanti. Sepi.
Dan ini menanti penghabisan mencekik
Memberat¬mencekung punda
Udara bertuba
Rontok¬gugur segala. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti
Maret 1943
Kawanku dan Aku
Kepada L.K. Bohang
Kami jalan sama. Sudah larut
Menembus kabut. Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal¬kapal di pelabuhan.
Darahku mengental¬pekat. Aku tumpat¬pedat.
Siapa berkata?
Lawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga.
Dia bertanya jam berapa!
Sudah larut sekali
Hingga hilang segala makna
Dan gerak tak punya arti
5 Juni 1943
Bercerai
Kita musti bercerai
Sebelum kicau murai berderai.
Terlalu kita minta pada malam ini.
Benar belum puas serah¬menyerah
Darah masih berbusah¬busah.
Terlalu kita minta pada malam ini.
Kita musti bercerai
Biar surya ’kan menembus oleh malam di perisai
Dua benua bakal bentur¬membentur. Merah kesumba jadi putih kapur.
Bagaimana?
Kalau IDA, mau turut mengabur
Tidak samudra caya tempatmu menghambur
7 Juni 1943
Aku
Melangkahkan aku bukan tuak menggelegak
Cumbu¬buatan satu biduan
Kujauhi ahli agama serta lembing katanya.
Aku hidup
Dalam hidup di mata tampak bergerak
Dengan cacar melebar, barah bernanah
Dan kadang satu senyum kukucup¬minum dalam dahaga
8 Juni 1943
Cerita
Kepada Darmawidjaja
Di Pasar Baru mereka
Lalu mengada¬menggaya.
Mengikat sudah kesal
Tak tahu apa dibuat
Jiwa satu teman lucu
Dalam hidup, dalam tuju.
Gundul diselimuti tebal
Sama segala berbuat¬buat.
Tapi kadang pula dapat
Ini renggang terus terapat.
9 Juni 1943
Di Mesjid
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kami pun bermuka¬muka.
Seterusnya ia menyala¬nyala dalam dada.
Segala daya memdamkannya
Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa¬membinasa
Satu menista lain gila
29 Mei 1943
Selamat Tinggal
Aku berkaca
Bukan buat ke pesta
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru¬menderu
¬ dalam hatiku?¬ Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah...!!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal...
Selamat tinggal....!!!
12 Juli1943
Mulutmu Mencubit di Mulutku
Mulutmu mencubit di Mulutku
Menggelegak benci sejenak itu
Mengapa merihmu tak kucekik pula
Ketika halus¬perih kau meluka?
12 Juli 1943
Dendam
Berdiam tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
Aku tegak
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Tangan meraba ke bawah bantalku
Keris berkarat kugenggam di hulu
Bulan bersinar sedikit tak nampak
Aku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari
Aku mencari
Diri tercerai dari hati
Bulan bersinar sedikit tak tampak
13 Juli 1943
Merdeka
Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah¬kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang
Tapi kini
hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang
Ah! Jiwa yang menggapai¬gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati
14 Juli 1943
Kita guyah Lemah
Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian
Mari tegak merentak
Diri¬sekeliling kita bentak
Ini malam purnama akan menembus awan
22 Juli 1943
Jangan Kita Di Sini Berhenti
Jangan kita di sini berhenti
Tuaknya tua, sedikit pula
Sedang kita mau berkendi¬kendi
Terus, terus dulu..!!
Ke ruang di mana botol tuak banyak berbaris
Pelayannya kita dilayani gadis¬gadis
O, bibir merah, selokan mati pertama
O, hidup, kau masih ketawa?
24 Juli 1943
1943
Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam¬membelam
Jalan kaku¬lurus. Putus
Candu
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku.
1943
Isa
Kepada nasrani sejati
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera
mengatup luka
aku bersuka
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
12 November 1943
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
Sajak Putih
Buat tunanganku Mirat
bersandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda
sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
menarik menari seluruh aku
hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu bagiku menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita Mati datang tidak membelah...
Buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di
alam ini!
Kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam
tubuhku...
18 Januari 1944
Dalam Kereta
Dalam kereta.
Hujan menebal jendela
Semarang, Solo...., makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa,
Sayatan terus ke dada
15 Maret 1944
Siap¬Sedia
Kepada angkatanku
Tanganmu nanti tegang kaku,
Jantungmu nanti berdebar berhenti,
Tubuhmu nanti mengeras batu,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus memahat ini Tugu,
Matamu nanti kaca saja,
Mulutmu nanti habis bicara,
Darahmu nanti mengalir berhenti,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.
Suaramu nanti diam ditekan,
Namamu nanti terbang hilang,
Langkahmu nanti enggan ke depan,
Tapi kami sederap mengganti,
Bersatu maju, ke Kemenangan.
Darah kami panas selama,
Badan kami tertempa baja,
Jiwa kami gagah perkasa,
Kami akan mewarna di angkasa,
Kami pembawa ke bahgia nyata
Kawan, kawan
Menepis segar angin terasa
Lalu menderu menyapu awan
Terus menembus surya cahaya
Memancar pencar ke penjuru segala
Riang menggelombang sawah dan hutan
Segala menyala¬nyala!
Segala menyala¬nyala!
Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesadaran
Mencucuk menerang hingga belulang
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke Dunia terang!
1944
Kepada Penyair Bohang
Suaramu bertanda derita laut tenang...
Si Mati ini padaku masih bicara
Karena dia cinta, di mulutnya membusah
Dan rindu yang mau memerahi segala
Si Mati ini matanya terus bertanya!
Kelana tidak bersejarah
Berjalan kau terus!
Sehingga tidak gelisah
Begitu berlumuran darah
Dan duka juga menengadah
Melihat gayamu melangkah
Mendayu suara patah:
”Aku saksi!”
Bohang,
Jauh di dasar jiwamu
Bertampuk suatu dunia;
Menguyup rintik satu¬satu
Kaca dari dirimu pula....
1944
Lagu Siul
I
Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! Ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matmu
’Ku kayak tidak tahu saja.
II
Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk¬sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ’kan apa¬apa
Aku terpanggang tinggal rangka
25 Desember 1945
Malam
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih saja berjaga
¬ Thermopylea? ¬
¬ jagan tidak dikenal? –
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam
hilang...
Markas API, Menteng 31, 1945
Sebuah Kamar
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
”Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu!”
Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penajra sepi selalu,
Bapakku sendiri terbang jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: Kamar begini,
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!
1946
Kepada Pelukis Affandi
Kalau, ’ku habis¬habis kata, tidak lagi
berani memasuki rumah sendiri, terdiri
di ambang penuh kupak,
Adalah karena kesementaraan segala
Yang mencap tiap benda, lagi pula terasa
mati ’kan datang merusak.
Dan tangan ’kan kaku, menulis berhenti,
kecemasan derita, kecemasan mimpi;
berilah aku tempat di menara tinggi,
di mana kau sendiri meninggi
atas keramaian dunia dan cedera,
lagak lahir dan kelancungan cipta
kau memaling dan memuja
dan gelap¬tertutup jadi terbuka!
1946
Dengan Mirat
Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas
Aku dan dia hanya menjengkau
rakit hitam.
’Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapnkah kami atau
mengikut juga bayangan itu?
8 Januari 1946
Catetan Th. 1946
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita – anjing diburu – hanya melihat debagian
dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur
atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat
tempat
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan
berdebu;
Kita memburu arti atau diserapkan kepada anak
lahir sempat
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu
asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering
sedikit mau basah!
1946
Buat Album D.S.
Seorang gadis lagi menyanyi
Lagu derita di pantai yang jauh,
Kelasi bersendiri di laut biru, dari
Mereka yang sudah lupa bersuka
Suaranya pergi terus meninggi,
Kami yang mendengar melihat senja
Mencium belai si gadis dari pipi
Dan gaun putihnya sebagian dari mimpi.
Kami rasa bahgia tentu ’kan tiba,
Kelasi mendapat dekapan di pelabuhan
Dan di negeri kelabu yang berhiba
Penduduknya bersinar lagi, dapat tujuan.
Lagu merdu! Apa mengertikah adikku kecil
Yang menangis mengiris hati
Bahwa pelarian akan terus tinggal terpencil,
Juga di negeri jauh itu surya tidak kembali?
1946
Nocturno
(Fragment)
......................
Aku menyeru – tapi tidak satu suara
Membalas, hanya mati di beku udara.
Dalam diriku terbujur keinginan,
Juga tidak bernyawa.
impi yang penghabisan minta tenaga,
Patah kapak, sia¬sia berdaya,
Dalam cekikan hatiku
Terdampar...menginyam abu dan debu
Dari tinggalnya suatu lagu.
Ingatan pada Ajal yang menghantu.
Dan dendam yang nanti membikin kaku....
........................
Pena dan penyair keduanya mati
Berpalingan!
1946
Cerita buat Dien Tamela
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu¬datu
Cuma satu.
Beta Patitiradjawane
Kikisan laut
Berdarah laut.
Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan.
Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
mari meria!
mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pada mati, gadis kaku
beta kirim datu¬datu!
Beta ada di dalam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau....
Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu¬datu
Cuma satu
1946
Kabar Dari Laut
Aku memang benar tolol ketika itu,
mau pula membikin hubungan dengan kau;
lupa kelasi tiba¬tiba bisa sendiri di laut pilu,
berujuk kembali dengan tujuan biru.
Di tubuhku ada luka sekarang,
bertambah lebar juga, mengeluarkan darah,
di bekas dulu kau cium nafsu dan garang;
lagi aku pun sangat lemah serta menyerah.
Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.
Pembatan Cuma tambah menyatukan kenang.
Dan tawa gila pada Wishky tercermin tenang
Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan
memuji, Atau dia antara mereka juga terdampar,
Burung mati pagi hari di sisi sangkar?
1946
Senja Di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ajati
Ini kali tak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak
elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa
terdekap.
1946
Cintaku Jauh di Pulau
Cintaku jauh di pulau,
Gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole¬ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ’kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata:
”Tujukan perahu ke pangkuanku saja”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ’kan merapuh!
Mengapa Ajal emmanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan dintaku!?
Manisku jauh di pulau,
kalau memang ’ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
”Betina”nya Affandi
Betina, jika di barat nanti
menjadi gelap
turut tenggelam sama sekali
juga yang mengendap,
di mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati
Matamu menentang – sebentar dulu! –
Kau tidak gamang, hidup kau sentuh, kau cumbu,
sekarang senja gosong, tinggal abu...
Dalam tubuhmu ramping masih berkejaran
Perempuan dan Laki
1946
Situasi
...........................
Tidak perempuan! Yang hidup dalam diri
masih lincah mengelak dari pelukanmu gemas
gelap,
bersikeras mencari kehijauan laut lain,
dan berada lagi di kapal dulu bertemu, berlepas kemudi pada angin,
mata terpikat pada bintang yang menanti.
Sesuatu yang mengepak kembali menandungkan
Tai Po dan rahasia laut Ambon
Begitulah perempuan! Hanya satu garis kabur
bisa dituliskan
dengan pelarian kebuntuan senyuman
Cirebon, 1946
Dari Dia
Buat K.
jangan salahkan aku, kau kudekap
bukan karena setia, lalu pergi gemerincing ketawa!
Sebab perempuan susah mengatasi
keterharuan penghidupan yang ’kan dibawakan
Padanya...
Sebut namaku! ’ku datang kembali ke kamar
Yang kau tandai lampu merah, kaktus di jendela.
Tidak tahu buat berapa lama, tapi pasti di senja
samar
Rambutku ikal menyinar, kau senapsu dulu kuhela
Sementara biarkan ’kuhidup yang sudah
dijalinkan dalam rahsia....
Cirebon 1946
Kepada Kawan
Sebelum Ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ’tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah
serta rasa.
Belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba¬tiba bisa malam membenam,
layar merah terkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peuk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat,
Tidak minta ampun atas segala dosa.
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ’kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
30 November 1946
Pemberian Tahu
Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing¬masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak¬kanak kembali,
Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!
1946
Dua Sajak Buat Basuki Resobowo
I
Adakah jauh perjalanan ini?
Cuma selenggang! – coba kalau bisa lebih!
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur tanya sendiri,
Dan sama lagu melembut jadi melodi!
Apa tinggal jadi tanda mata?
Lihat pada betina tidak lagi menengadah
Atau bayu sayu, bintang menghilang!
Lagi jalan ini berpaa lama?
Boleh seabad...aduh sekerdip saja!
Perjalanan karna apa?
Tanya rumah asal yang bisu!
Keturunanku yang beku di situ!
Ada yang menggamit?
Ada yang kehilangan?
Ah! Jawab sendiri – aku terus gelandangan....
II
Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai
susu
dan bertabur bidari seribu
Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidari
Suaranya berat menelan seperti Nina, punya
kerlingnya Jati?
Malang, 28 Februari 1947
Malam di Pegunungan
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947
Tuti Artic
Antara bahgia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + Coca cola.
Istriku dalam latihan:kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
¬ ketika kita bersepeda kuantar kau pulang ¬
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi.... hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
1947
Persetujuan dengan Bung Karno
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu
dipanggang atas apimu, digaram oleh lautmu
dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut!
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal¬kapal berlayar
Di uratmu di uratku kapal¬kapal kita bertolak dan berlabuh
1948
Sudah Dulu Lagi Terjadi Begini
Sudah dulu lagi terjadi begini
Lari tidak bakal teranjak dari petikan bedil
Jangan tanya mengapa jari cari tempat di sini
Aku tidak tahu tenggal serta alasan lagi
Dan jangan tanya siapa akan menyiapkan liang
penghabisan
Yang akan terima pusaka: kedamaian antara
reruntuhan menara
Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi
Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil
1948
Ina Mia
Terbaring di rangkuman pagi
¬ hari baru jadi –
Ina Mia mencari
hati mimpi, Teraba Ina Mia
kulit harapan belaka
Ina Mia
menarik napas panjang
di tepi jurang
nafsu
yang sudah lepas terhembus,
antara daun¬daunan megelabu
kabut cinta lama, cinta hilang
Terasa gentar sejenak
Ina Mia menekan tapak di hijau rumput,
Angin ikut
¬ dan yang penghabisan yang mengipas ¬
Berpaling
Kelihatan seorang serdadu mempercepat langkah di tekongan.
1948
Perjurit Jaga Malam
Pro Bahar + Rivai
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu
Pemuda¬pemuda yang lincah yang tua¬tua keras
bermata tajam,
Mimpinya kemerdekaan bintang¬bintangnya
kepastian
Ada di sisiku selama kau menjaga daerah yang mati
ini.
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, berlucut debu...
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu.
1948
Puncak
Pondering, pondering on you, dear....
Minggu pagi di sini. Kederasan ramai kota yang
terbawa
tambah penjoal dalam diri – diputar atau
memutar –
terasa tertekan; kita terbaring bulat telanjang
sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata
sekarang.
Berada 2000 m, jauh dari muka laut, silang siur
pelabuhan,
jadi terserah pada perbandingan dengan
cemara bersih hijau, kali yang berih hijau
Maka cintaku sayang, kucoba menjabat tanganmu
Mendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu di
balik rupa.
Kau terlompat dari ranjang, lari ke tingkap yang
masih mengandung kabut, dan kau lihat di sana
bahwa antara
Cemara bersih hijau dan kali gunung bersih hijau
Mengembang juga tanya dulu, tanya lama, tanya,
1948
Buat Gadis Rasid
Antara
daun¬daun hijau
padang lapang dan terang
anak¬anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari¬larian
burung¬burung merdu
hujan segar dan menyebar
bangsa muda menjadi, baru bisa bilang ”aku”
Dan
angin tajam kering, tanah semata gersang
pasir bangkit mentaduskan, daerah dikosongi
Kita terapit, cintaku
¬ mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
¬ the only possible non¬stop flight
Tidak mendapat
1948
Selama Bulan Menyinari Dadanya
Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggil¬panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan
di hadapan berpuluh lorong dan gang
menimbang
ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas”
selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggil¬panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
juga ibuku yang berjanji
tidak meninggalkan sekoci.
Lihatlah cinta jingga luntur:
Dan aku yang pilih
tinjauan mengabur, daun¬daun sekitar gugur
rumah tersembunyi dalam cemara rindang tinggi
pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang
Gundu, gasing, kuda¬kudaan, kapal¬kapalan di zaman kanak,
Lihatlah cinta jingga luntur:
Kalau datang nanti topan ajaib
menggulingkan gundu, memutarkan gasing
memacu kuda¬kudaan, menghembus kapal¬kapal
aku sudah lebih dulu kaku
1948
Mirat Muda, Chairil Muda
Di pegunungan 1943
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah matanya menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.
Ketawa diadukannya giginya pada
mulut Chairil; dan bertanya: adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukan dengan pasti dimana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa¬nyawa saling berganti. Dia
rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati.
1949
Buat Nyonya N
Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu,
dan kini dia turun ke rendahan datar.
Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu.
Burung¬burung asing bermain keliling kepalanya
dan buah¬buah hutan ganjil mencap warna pada gaun.
Sepanjang jalan dia terkenang akan jadi Satu
Atas puncak tinggi sendiri
berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat kematian
Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia sungguh tidak tahu
Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi,
Selanjutnya tidak ada burung¬burung asing, buah¬buah pandan ganjil
Turun terus. Sepi.
Datar¬lebar¬tidak bertepi
1949
Aku Berkisar Antara Mereka
Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa
Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata mereka
pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda:
kenyataan¬kenyataan yang didapatnya
(bioskop Capitol putar film Amerika,
lagu¬lagu baru irama mereka berdansa)
Kami pulang tidak kena apa¬apa
Sungguh pun Ajal macam rupa jadi tetangga
Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota
Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa.
Kami timpang dan pincang, negatip dalam janji juga
Sandarkan tulang belulang pada lampu jalan saja,
Sedang tahun gempita terus berkata.
Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota.
Ah hati mati dalam malam ada doa
Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta mereka
Semoga segala sypilis dan segala kusta
(Sedikit lagi bertambah derita bom atom pula)
Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama
Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa
Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku pula.
1949
Yang Terampas dan Yang Putus
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
mengigir juga di ruang di mana dia yang kuingin
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku ya. d) sampai juga deru angin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan kau bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
Derai-derai Cemara
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Aku berada kembali
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna, kapal¬kapal, elang¬elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari
lain
Hanya
kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelak¬kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar¬sebentar seterang guruh
1949
Kepada Peminta¬-minta
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanaj meleleh dari luka
Sambil berjalan kau usap juga.
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Semabrang kau merebah.
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku dibumi keras
Di bibirku terasa pedas
mengaum di telingaku.
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Juni 1943
Krawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Krawang –Bekasi
tidak bisa teriak ”Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan
berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa¬apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4¬5 ribu nyawa
Kami Cuma tulang¬tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang¬tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa¬apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang
berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kamu
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang¬tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang¬Bekasi.
1948