Tari ini dahulu diyakini sabagai tari persembahan kepada Raja dan keluarganya pada saat-saat tertentu dan bersifat hiburan. Oleh sebab itu, tari ini tidak memiliki pola lantai dan pola langkah yang bersifat pakem, cenderung fleksibel. Tarian ini dilakukan pada saat menjelang pesta perkawinan atau sunat rasul.
Tari ini disebut menatakhken hinei yang berarti tari untuk mengiring pengantin atau anak laki-laki yang di sunat melepaskan inai yang telah di pasang semalam pada jari tangan dan jari kaki, sesuai dengan bahasanya yaitu menatakhken yang berarti melepaskan dan hinei yang berarti inai.
Tari Muakhabentan atau sering juga disebut Tari Menatakhen Hinei merupakan tarian yang ditarikan sebagai bagian dari rangkaian upacara adat sunat rasul dan pernikahan. Pada upacara pernikahan, tari ini ditarikan pada pukul 04.00 atau 04.30 hingga menjelang waktu shalat subuh.
Pada saat ini, mempelai pria atau wanita (pada tempat/ rumah yang terpisah) dibangunkan dan dipakaikan baju pengantin (tanpa berias wajah bagi pengantin wanita) sambil diiringi dengan tarian ini. Mempelai laki-laki dan wanita akan menari sembari diiringi oleh penari laki-laki dan mempelai wanita akan diiringi oleh penari wanita.
Ketika ditarikan, mempelai pria akan dibawa oleh para penari pengiring dari pelaminan ke serambi tukhe (serambi depan) dan kemudian didudukan di pelaminannya di jokhong (ujung serambi depan). Setelah mempelai duduk, penari pendamping bisa melanjutkan tarian hingga 30 menit berikutnya.
Filosofi dari tarian ini pada pernikahan adalah sebagai simbol dilepaskannnya kesalahan-kesalahan masa lalu, cerita-cerita masa lalu yang tidak baik sebagai lajang seperti dilepaskannya inai-inai sebagai tanda kesiapan batin menuju kehidupan yang baru. Sedangkan pada perayaan Sunat Rasul, sebagai lambang melepaskan kesalahan kepada orang tua sekaligus sebagai lambang menuju masa akhil baligh.
Namun begitu, saat ini laki-laki yang dikhitan sudah mencapai usia yang lebih muda, tidak lagi seperti dulu yang dikhitan pada usia 11 sampai 13 tahun, sehingga makna tarian ini bergeser menjadi hanya sebuah syarat adat untuk melaksanakan Sunat Rasul pada anak di bawah usia 9 tahun. Isi syair pada tarian ini mengajarkan etika, petuah menjelang berumah tangga ditambah dengan kisah dan cerita meninggalnya anak raja yang dimaksud serta petuah untuk tidak melupakan orang tua.
Nama muakhabentan lebih sering digunakan oleh masyarakat Singkil pedalaman sedangkan nama menatakhken hinei lebih sering digunakan oleh masyarakat Singkil pesisir namun dengan bentuk dan makna tari yang sama.