Meracu merupakan salah satu motif yang terdapat dalam kerajinan kasab. Meracu adalah bentuk segitiga yang dipasang tepat dibagian tengah dinding pada suatu sisi ruang. Meracu merupakan simbol ketuhanan. Dalam hal ini ia merupakan simbol hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan sesama manusia.
Meracu pada dasarnya adalah ukiran benang emas yang berbentuk segitiga yang menggambarkan daerah Aceh berbentuk segitiga yang menunjukkan pusat pemerintahan Aceh di masa lalu yaitu Indrapurwa, Indrapatra, dan Indrapuri atau dalam bahasa Aceh dikenal istilah lhee sago.
Dalam pandangan adat, meracu dipasang menurut kebutuhan. Bila dipasang sembilan meracu yang disebut Tunggang Baliak (posisi bolak-balik), maka adat yang dijalankan harus lengkap sebagaimana telah diatur oleh tuha peut dan tuha lapan, mengundang dan menjamu tujuh orang keuchik serta mengundang seluruh masyarakat gampong setempat dan menyembelih kerbau untuk kenduri.
Dahulu upacara dengan adat lengkap hanya dilakukan oleh kaum bangsawan, akan tetapi saat ini sudah dilaksanakan oleh masyarakat umum.
Ada indikasi bahwa upacara seperti ini dianggap dapat menaikkan derajat atau kehormatan keluarga di mata masyarakat; semakin besar kenduri dilaksanakan maka semakin terpandang keluarga tersebut. Inilah yang membuat masyarakat salah kaprah terhadap wujud budayanya.
Lalu mengapa harus Sembilan meracu? Sembilan adalah simbol kebesaran Aceh, terinspirasi dari cap sikureung, stempel Kerajaan Aceh Darussalam. Dahulu terdapat 9 kerajaan besar dan kecil di Aceh. Sembilan meracu juga menunjukkan ada 9 orang raja di Aceh yang berpengaruh waktu itu serta mereka menggunakan cap seukeurueng dalam menulis surat-surat yang berkaitan dengan kerajaan.
Sebaliknya, apabila tidak menjalankan lengkap, maka dapat digunakan meracu tunggal dengan cara pemasangan yang sama. Dengan melihat kasab tersebut, tanpa bertanya pun masyarakat akan dengan mudah mengetahui hajat yang dilaksanakan sepanjang kenduri.
Seperti diketahui bahwa kenduri lengkap di Aceh Selatan akan memakan waktu selama tujuh hari tujuh malam. Khusus untuk meracu yang dipasang tunggal selalu harus dipasang bersama banta gadang karena dengan demikian orang akan megetahui bahwa yg dihajatkan adalah pesta suka cita. Tetapi jika meracu hanya dipasang dengan tapak meracu saja, maka itu akan berarti tanda berkabung, yaitu bahwa di rumah tersebut telah ada yang meninggal dunia.
Selain sebagai gambaran Aceh Lhee Sagoe, bentuk meracu sendiri adalah interpretasi lambang adat istiadat yang disusun oleh raja berdasarkan adat bersendi hukum menurut ajaran Islam.
Interpretasi ini dipahami dari bentuk segitiga yang mengurung bungong situnjong. Sudut teratas diartikan sebagai Tuhan, sedangkan dua sudut di bagian bawah adalah manusia. Artinya, manusia harus selalu tunduk dan patuh terhadap aturan Allah SWT dalam melakukan segala hal di muka bumi.
Di sisi lain, hubungan antar manusia juga berpedoman pada ajaran agama. Karena keseimbangan hubungan Tuhan dan manusia menjamin kesejahteraan.
Di bagian bawah ada pula yang disebut dengan Tapak Meracu, berbentuk persegi dengan empat sudut sama besar. Tapak meracu adalah simbol dari petua adat di Aceh Selatan yaitu tuha peut dan tuha Lapan. Masing-masing petua merupakan orang-orang yang bertugas mengawal adat dan segala kegiatan masyarakat agar tetap sesuai dengan ajaran agama sebagaimana yang juga dipesankan oleh orang-orang terdahulu.
Mereka selalu mendapat tempat yang khusus di dalam adat dan kehidupan bermasyarakat. Setiap upacara adat maka mereka memegang peranan penting. Tanpa mereka suatu upacara bahkan tidak dapat dilaksanakan. Demikian istimewanya kedudukan tuha peut dan tuha lapan di Aceh Selatan bahkan di Provinsi Aceh.
Sementara untuk tapak meracu tunggang baliak, lima tapak disusun sejajar. Ini adalah simbol keislaman yang menjadi dasar kehidupan. Lima diangkat dari lima jumlah waktu shalat; shubuh, dzuhur, ashar, maghrib dan isya.