Para peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri. Dalam perkembangannya, Tari guel timbul tenggelam, namun guel menjadi tari tradisi terutama dalam upacara adat tertentu
Guel sepenuhnya apresiasi terhadap wujud alam, lingkkungan kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan irama.
Tari ini semacam media informatif, memadukan seni satra, musik/suara, gerak yang memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan pola pikir masyarakat setempat. Guel dibagi dalam empat babakan baku.
Terdiri dari babak Munatap, Babak II Dep, Babak III Ketibung, Babak IV Cincang Nangka. Ragam Gerak atau gerak dasar adalah Salam Semah (Munatap), Kepur Nunguk, Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang), Dah-Papan. Sementara jumlah para penari dalam perkembangannya terdiri dari kelompok pria dan wanita berkisar antara 8-10 (Wanita ), 2-4 (Pria).
Penari Pria dalam setiap penampilan selalu tampil sebagai simbol dan primadona, melambangkan aman manyak atau lintoe baroe dan Guru Didong. Jumlah penabuh biasanya minimal 4 orang yang menabuh canang, gong, rebana, dan memong.
Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di daerah gayo, bahwa tari guel berawal dari mimpi seorang pemuda bernama Sengeda, yakni anak Raja Linge ke XIII. Sengeda dalam mimpinya bertemu saudara kandungnya Bener Meria yang konon telah meninggal dunia karena pengkhianatan.
Bener Meria dalam mimpi tersebut memberi petunjuk kepada Sengeda tentang kiat mendapatkan Gajah putih sekaligus cara meenggiring Gajah tersebut untuk dibawa dan dipersembahakan kepada Sultan Aceh Darussalam sebagai permintaan Putri Sultan. Beberapa tahun kemudianlah mimpi Sangeda menjadi nyata. Pada waktu itu Cik Serule, perdana menteri Raja Linge ke XIV berangkat ke Ibu Kota Aceh Darussalam ( sekarang kota Banda Aceh) untuk memenuhi hajatan sidang tahunan Kesutanan Kerajaan. Nah, Sengeda yang dikenal dekat dengan Serule ikut dibawa serta.
Pada saat-saat sidang sedang berlangsung, Sengeda rupanya bermain-main di Balai Gading sambil menikmati keagungan Istana Sultan. Pada waktu itulah ia teringat akan mimpinya waktu silam, lalu sesuai petunjuk saudara kandungnya Bener Meria ia lukiskanlah seekor gajah berwarna putih pada sehelai daun Neniyun ( Pelepah rebung bambu ), setelah usai, lukisan itu dihadapkan pada cahaya matahari. Tak disangka, pantulan cahaya yang begitu indah itu mengundang kekaguman sang Puteri Raja Sultan.
Dari lukisan itu, sang Putri menjadi penasaran dan berhasrat ingin memiliki Gajah Putih dalam wujud asli. Permintaan itu dikatakan pada Sengeda. Sengeda menyanggupi untuk menangkap Gajah Putih yang ada dirimba raya Gayo untuk dihadapkan pada tuan puteri dengan syarat Sultan memberi perintah kepada Cik Serule.
Kemudian dalam prosesi pencarian itulah benih-benih dan paduan tari Guel berasal: Untuk menjinakkan sang Gajah Putih, diadakanlah kenduri dengan meembakar kemenyan, diadakannya bunyi-bunyian dengan cara memukul-mukul batang kayu serta apa saja yang menghasilkan bunyi-bunyian.
Sejumlah kerabat Sengeda pun melakukan gerak tari-tarian untuk memancing sang Gajah. Tak lama kemudian sang Gajah yang bertubuh putih nampak keluar dari persembunyiaannya. Ketika berpapasan dengan rombongan Sengeda, sang Gajah tidak mau beranjak dari tempatnya.
Bermacam cara ditempuh, sang Gajah masih juga tidak beranjak. Sengeda yang menjadi pawang pada waktu itu menjadi kehilangan ide untuk menggiring sang Gajah. Lagi-lagi Sengeda teringat akan mimpi waktu silam tentang beberapa petunjuk yang harus dilakukan.
Sengeda kemudian memerintahkan rombongan untuk kembali menari dengan niat tulus dan ikhlas sampai menggerakkan tangan seperti gerakan belalai gajah: indah dan santun.
Disertai dengan gerakan salam sembahan kepada Gajah ternyata mampu meluluhkan hati sang Gajah. Gajah pun dapat dijinakkan sambil diiringi rombongan. Sepanjang perjalanan pawang dan rombongan, Gajah putih sesekali ditepung tawari dengan mungkur (jeruk puru) dan bedak.
Setelah berhari-hari dalam perjalanan sampailah rombongan ke hadapan Putri Sultan di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam. Dari cerita inilah Tari Guel menjadi salah satu khasanah budaya Gayo di Provinsi Aceh. Kata Guel mempunyai arti membunyikan.
Tarian ini bukan hanya sekedar tarian, tarian ini memiliki kisah panjang dan unik dan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri. Dalam perkembangannya, tari Guel timbul mengalami pasang surut tetapi Tari Guel tetap gmenjadi tari tradisi terutama dalam upacara adat tertentu.
Tari Guel adalah media informati sepenuhnya apresiasinya terhadap wujud alam, lingkungan kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan irama.
Kekompakan dalam padu padan antara seni satra, musik/suara, gerak memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan pola pikir masyarakat setempat.
Pertunjukan atraksi Tari Guel, yang sering kita temui pada saat upacara perkawinan, khususnya di Tanah Gayo, tetap mengambil spirit pertalian sejarah dengan bahasa dan tari yang indah.
Reinkarnasi dari kisah tersebut, dalam tari Guel, Sengeda kemudian diperankan oleh Guru Didong yakni penari yang mengajak Beyi (Aman Manya) atau Linto Baroe untuk bangun dari tempat persandingan (Pelaminan). Sedangkan Gajah Putih diperankan oleh Linto Baroe (Pengantin Laki-laki). Pengulu Mungkur, Pengulu Bedak diperankan oleh kaum ibu yang menaburkan breuh padee (beras padi) atau dikenal dengan bertih. Tari Guel dibagi dalam empat babakan baku.
erdiri dari babak Mu natap, Babak II Dep, Babak III Ketibung, Babak IV Cincang Nangka. Ragam Gerak atau gerak dasar adalah Salam Semah (Munatap ), Kepur Nunguk, Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang), Dah-Papan. Sementara jumlah para penari dalam perkembangannya terdiri dari kelompok pria dan wanita berkisar antara 8-10 ( Wanita ), 2-4 ( Pria ).
Penari Pria dalam setiap penampilan selalu tampil sebagai simbol dan primadona, melambangkan aman manyak atau lintoe Baroe dan Guru Didong.
Jumlah penabuh biasanya minimal 4 orang yang menabuh Canang, Gong, Rebana, dan Memong. Tari Guel memang unik, pengalaman penulis merasakan mengandung unsur dan karakter perpaduan unsur keras lembut dan bersahaja. Bila para pemain benar-benar mengusai tarian ini, terutama peran Sengeda dan Gajah Putih maka bagi penonton akan merasakan ketakjuban luar biasa. Seolah-olah terjadinya pertarungaan dan upaya mempengaruhi antara Sengeda dan Gajah Putih.
Upaya untuk menundukkan jelas terlihat, hingga kipasan kain kerawang Gayo di Punggung Penari seakan mengandung kekuatan yang luar biasa sepanjang taarian. Guel dari babakan ke babakan lainnya hingga usai selalu menawarkan uluran tangan seperti tarian sepasang kekasih ditengah kegundahan orang tuanya.Tidak ada yang menang dan kalah dalam tari ini, karena persembahan dan pertautan gerak dan tatapan mata adalah perlambang Cinta.
Tapi sayang, kini Tari Guel itu seperti kehilangan Induknya, karena perhatian pemerintah sangatlah kurang pada warisan budaya ini.