Nandong telah ditemukan sejak masyarakat Minangkabau mendatangi pulau ini yang diperkirakan sejak abad ke-16, terutama pada masa Iskandar Muda. Nandong terdiri dari Samba, Serak, Kasih, Untung, Rantau dan Carai yang dilantunkan menggunakan bahasa Minangkabau dan Simeulue.
Biasanya Nandong bisa dipertunjukkan siang atau malam hari berjam-jam bahkan sampai pagi tergantung dari balas-balasan pantun dari dua atau lebih pemainnya. Nandong bermakna sebagai pesan moral, ungkapan rasa hati, dan nasehat yang dituangkan dalam syair-syair dalam pantun-pantun.
Nandong sangat baik diterapkan di dalam masyarakat Simeulue sebagai masyarakat perantauan yang terdiri dari berbagai latar belakang budaya yang membentuk budaya Simeulue.
Nandong dalam masyarakat Simeulue adalah media mengungkapkan perasaan. Termasuk dalam seni tutur yang telah lama mengakar dalam kebudayaan Simeulue. Kesenian ini adalah salah satu kesenian yang sangat populer di kalangan masyarakat setempat. Nandong dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan menggunakan alat musik kedang sejenis gendang yang ditabuh di sela-sela bait-bait syair dilantunkan.
Nandong dimainkan dengan menggunakan bait-bait pantun yang dilakukan secara berbalas-balasan dan kedang yang ditabuh menyesuaikan dengan syair-syair yang diungkapkan.
Dalam seni Nandong, syair yang dilantunkan punya kekhasan tersendiri. Menyampaikan pesan-pesan yang edukatif, syair yang dipergunakan juga bertingkat dan berlapis. Biasanya sebelum nandong dimulai, ia terlebih dahulu diawali dengan Seuramo Gendang. Kemudian nandong berturut-turut masuk pada tingkatan syair pantun, serak, samba, rantau, kasih, dan izin.
Syair nandong dan ketukan gendangnya mempunyai irama yang berbeda antar beberapa kecamatan di Simeulue. Nandong yang dilantunkan di Kecamatan Simeulue Tengah, Teluk Dalam, Salang, Alafan, dan Simeulue Barat berbeda ciri khasnya dengan Kecamatan Simeulue Timur, Teupah Barat, dan Teupah Selatan.
Musik nandong umumnya bernada lirih, dan para penyanyinya bersuara menjerit meratap-ratap. Suara vokalis Nandong mengingatkan pada musik beluk di Sunda, yang juga dinyanyikan dengan suara melengking seperti hendak merobek perut langit agar segera menumpahkan berkah.