Pandai Sikek merupakan nagari yang sangat terkenal di Sumatera Barat. Ciri khas tenunan songket dari Sumatera Barat karena menggunakan benang emas dan perak dalam menenun kain sutera sehingga menghasilkan kain yang mewah.
Motif ragam hias pada tenunan pandai sikek adalah motif cukie dan sungayang. Cukie adalah sebuah pola yang mengisi bagian-bagian dari kain yaitu di badan kain, kepala kain, pinggir kain, dan cukie untuk biteh yang membatasi antar beberapa motif. Sedangkan sungayang adalah corak keseluruhan kain tenun atau songket.
Nama-nama motif sungayang diantaranya adalah: Saik Kalamai, Buah Palo, Balah Kacang, Barantai Putiah, Barantai Merah, Tampuak Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api, Cukie Baserak, Sirangkak, Simasam, dan Silala Rabah
Pandai Sikek merupakan nagari yang sangat terkenal di Sumatera Barat dan nasional sebagai sentra utama kain tenun khas Minangkabau. Hasil tenunan kain songket Pandai Sikek dijual keluar daerah bahkan luar Propinsi Sumatera Barat.
Keterampilan pembuatan songket Pandai Sikek sampai saat ini masih dimiliki oleh masyarakatnya. Keahlian (keterampilan) menenun songket di Nagari Pandai Sikek pada umumnya diperoleh secara turun temurun dalam keluarga.
Dari umur sekitar tujuh sampai delapan tahun khususnya para perempuan sudah mulai belajar menenun songket.
Ciri khas tenunan songket dari Sumatera Barat ialah menggunakan benang emas dan perak dalam menenun kain sutera sehingga menghasilkan kain yang mewah, karena di daerah ini banyak terdapat emas.
Keberlangsungan dari kerajinan tenun songket Pandai Sikek ini terwujud dikarenakan adanya proses pewarisan yang terus berlangsung. Pewarisan tersebut dilakukan hanya dalam satu garis keturunan, seperti pewarisan yang dilakukan seorang seorang nenek kepada cucunya, seorang ibu kepada anak gadisnya demikian seterusnya.
Ruang lingkup pewarisan tidak boleh keluar dari garis keturunan yang lebih dikenal dengan sebutan saparuik. Tidak hanya itu, dalam falsafah kehidupan perempuan khususnya di nagari Pandai Sikek harus tahu dengan kato nan ampek, yakni tahu jo takok baniah, tahu jo suduik kampia, tahu jo liang karok, tahu jo atah takunyah.
Jika seorang perempuan Pandai Sikek tidak mengetahui kato nan ampek di atas, maka mereka belum bisa dikatakan perempuan Pandai Sikek.
Adapun arti dari kato nan ampek di atas, yakni seorang perempuan Pandai sikek diharapkan pandai dalam bertanam padi, pandai menganyam, pandai bertenun, dan pandai memasak.
Adanya kepandaian yang diharapkan dimiliki oleh para perempuan pandai Sikek di atas adalah bertujuan sebagai bekal kelak nanti manakala sudah berumah tangga, karena dengan kepandaian tersebut maka seorang perempuan dapat menjadi seorang istri yang tahu akan kewajibannya dan juga dapat membantu perekonomian keluarga, salah satunya yakni kepandaian menenun yang dapat menghasilkan uang.
Terdapat satu aturan atau sumpah dalam proses pewarisan bertenun songket yang diyakini oleh masyarakat Nagari Pandai Sikek, yakni bahwa kepandaian bertenun hanya boleh diwariskan kepada anak cucu yang berasal dari rumah gadang, seandainya sumpah itu dilanggar maka hidup mereka bakka bawah indak baurek, ka ateh indah bapucuak, di tangah-tangah digiriak kumbang, yang artinya bagi yang melanggar sumpah maka hidupnya akan sengsara seumur hidup.
Sesuai dengan konvensi adat yang berlaku di Nagari Pandai Sikek mengenai siapa saja yang berhak memiliki ketrampilan menenun adalah seperti yang diungkapkan oleh Christyawati (2009:76), yakni : a. Orang asli atau penduduk asli Nagari Pandai Sikek, artinya nenek moyangnya atau ninik mamaknya berasal dari nagari ini.
b. Orang yang sudah menetap lama dan sudah menjadi warga Nagari Pandai Sikek (malakok ).
c. Orang yang menikah dengan warga asli Nagari Pandai Sikek.
Lama tidaknya pembuatan suatu tenun songket, selain bergantung jenis pakaian yang dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan kerumitan motif songketnya. Semakin halus dan rumit motif songketnya, akan semakin lama pengerjaannya.
Pembuatan sarung biasanya memerlukan waktu kurang lebih satu bulan. Bahkan, seringkali lebih dari satu bulan karena setiap harinya seorang pengrajin rata-rata hanya dapat menyelesaikan kain sepanjang 5--10 sentimeter. Dalam pemeliharaan kain songket tidak boleh dilipat akan tetapi digulung dengan kayu bulat yang berdiammeter 5 cm.
Hal ini bertujuan untuk menjaga agar bentuk motifnya tetap bagus dan benang emas-nya tidak putus, sehingga songketnya tetap dalam keadaan baik dan rapi serta bertahan lama. Motif ragam hias pada tenunan pandai sikek banyak macamnya.
Terdapat 90 motif yang telah terinventarisasi yang telah disebutkan oleh Murnayati (1991:44) dalam tulisannya. Berikut beberapa motif tenunan pandai sikek yang mengandung nilai budaya di dalamnya, antara lain: Pada dasarnya motif-motif yang terdapat dalam tenun songket Pandai Sikek adalah cukie dan sungayang.
Cukie adalah sebuah pola yang mengisi bagian-bagian dari kain. Misalnya, cukie untuk badan kain, cukie untuk kepala kain, cukie, cukie untuk pinggir kain dan cukie untuk biteh yang membatasi antar beberapa motif (cukie).
Nama-nama cukie tersebut pada umumnya dicontoh dari kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan hanya digunakan pada saat ada upacara adat, diantaranya adalah: cukie barantai, cukie bakaluak, cukie bungo tanjung, cukie kaluak paku, cukie barayam pucuak rabuang, cukie barayam tali-tali burung, dan lainnya.
Sedangkan sungayang adalah corak keseluruhan kain tenun atau songket. Nama-nama motif sungayang diantaranya adalah: Saik Kalamai, Buah Palo, Balah Kacang, Barantai Putiah, Barantai Merah, Tampuak Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api, Cukie Baserak, Sirangkak, Simasam, dan Silala Rabah.