Dikisahkan pada suatu hari raja pergi ke seluruh daerah di Aceh untuk melihat-lihat perkembangan rakyatnya dengan menunggangi gajah putih tersebut.
Tiba-tiba gajah putih tersebut berhenti di tengah jalan, dan baru mau berjalan kembali setelah muda-mudi yang ada di sekitar jalan tersebut mengusir gajah dan mengelilinginya sambil menepuk tangan dan bersorak-sorak. Tepukan sambil mengelilingi gajah putih itu yang menjadi awal lahirnya Tari Bines.
Gerakan Tari biasanya berkisar antara tepuk tangan serentak dalam satu warna, ke kanan, ke kiri atau ke depan.
Tari ini ditarikan oleh perempuan dan tidak memakai instrumen musik melainkan dengan menggunakan nyanyian yang berisikan syair dan nasehat. Tarian ini sekarang sudah meluas tidak hanya pada upacara pemotongan padi seperti pada masa awalnya.
Tari Bines, tumbuh dan berkembang dipedesaan, di bekas-bekas kerajaan Linge dahulu seperti Desa Linge, Jamat, Sarnar Kilang, Pante Nangka, dan lain-lain.
Di kawasan pinggiran Kota Takengon, seputar Bukit Barisan, yang susah ditempuh dengan kenderaan roda empat, kesenian ini menjadi hiburan utama dalam upacara yang berlaku dalam lingkungan-lingkungan masyarakat pedalaman karena pengaruh modernisasi sukar menjangkaunya.
Pada upacara-upacara perkawinan atau menyambut kedatangan tamu yang kebetulan mengunjungi daerah tersebut, kesenian tradisional ini selalu ditampilkan guna menghibur pihak yang datang sebagai suatu kebanggaan bagi masyarakat setempat.