-->

Kisah Koba Dari Riau

Kisah Koba Dari Riau

Karya budaya ini telah hidup sejak akhir abad ke-19. Pada abad ke-20 awal hingga pertengahan, Koba merupakan kesenian hiburan yang banyak ditunggu orang. Pengkoba, orang yang membawakan Koba, biasanya menampilkan Koba pada helat-helat acara atau perayaan.

Namun, ada pula yang membawanya ke kampung-kampung dan memainkan bila ada yang memanggil, sehingga menjadi sebuah profesi yang menghasilkan. Koba merupakan tradisi lisan jenis cerita yang disampaikan dengan gaya dinyanyikan. Pelakunya biasa disebut sebagaipengkoba atau tukang koba.

Koba dapat ditampilkan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Cerita yang dikisahkan bersifat menghibur, biasanya disampaikan di hadapan khalayak pendengarnya dengan menggunakan alat musik pengiring babano. Meskipun ada juga sebagian koba yang disampaikan tanpa musik pengiring, sebagian lagi menggunakan musik pengiring, tergantung pada tukang kobanya masing-masing.

Merupakan tradisi lisan jenis cerita yang disampaikan dengan gaya dinyanyikan. Pelakunya biasa disebut sebagai pengkoba atau tukang koba. Koba dapat ditampilkan baik oleh laki-laki maupun perempuan.


Cerita yang dikisahkan bersifat menghibur, biasanya disampaikan di hadapan khalayak pendengarnya dengan menggunakan alat musik pengiring babano. Meskipun ada juga sebagian koba yang disampaikan tanpa musik pengiring, sebagian lagi menggunakan musik pengiring, tergantung pada tukang kobanya masing-masing.

Cerita koba berisikan tentang kehidupan, alam, manusia, hewan, makhluk halus dan makhluk-makhluk ajaib, dewa, kesaktian, kayangan, ketampanan dan kecantikan, keperkasaan, yang kadang diselingi kisah-kisah lucu. Semua cerita mengandung unsur pendidikan dan pengajaran mengenai adat dan sejarah. Cerita ini disajikan dalam bentuk pantun, petatah-petitih dan ungkapan tradisional yang dilagukan dengan irama tertentu.

Setiap koba memiliki irama dendangnya masing-masing. Di wilayah Rokan (hulu dan hilir) terkenal gaya Rantau Kopar yang mendayu dan merayu. Di Bagansiapi-api (Rokan hilir) dikenal gaya dendang dikei (zikir), gaya gila janda talak tiga, hujan panas, lebah mengirap, hujan gerimis, burung tiung, dsb.


Dengan demikian, istilah bokoba memiliki arti bercerita dengan diiringi alunan gendang babano. Cerita yang dibawakan berupa kisah pelipur lara. Akan tetapi tidak semua koba dapat disampaikan dengan bokoba, misalnya Koba Panglimu Awang.

Sebagian cerita memerlukan ritual khusus ketika memulai dan mengakhiri. Bila syarat ini tidak dipenuhi, dipercaya akan datang bencana. Koba berkembang di negeri-negeri sepanjang pesisir dan pedalaman sungai Rokan (sekarang secara administratif menjadi Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Rokan Hulu) dengan memakai bahasa Melayu logat Rokan, Lima Koto Kampar, Bengkalis, dan Rantau Kuantan (sekarang Kabupaten Kuantan Singingi).

Tradisi lisan ini ditampilkan pada malam hari sesudah isya, kadang sampai pagi. Bila dalam satu malam cerita yang disajikan belum tamat, maka koba dilanjutkan pada malam berikutnya, sehingga seringkali untuk menamatkannya diperlukan waktu bermalam-malam.

Bahkan, Koba Panglimu Awang baru habis sempurna dikisahkan dalam tujuh malam penampilan. Pertunjukan koba sepenuhnya merupakan ekspresi bebas tukang koba atas improvisasinya terhadap cerita baku yang ada.

Setiap pertunjukan koba adalah pertunjukan baru, karena improvisasi tukang koba selalu mengalami kebaruan yang dipengaruhi oleh kebaruan pengetahuan dan perspektifnya dalam melihat cerita, serta interaksi yang dibangunnya dengan khalayak pendengar. Koba biasanya ditampilkan bersempena perayaan-perayaan komunal seperti perhelatan pernikahan, sunat rasul, mencukur anak, dan lain-lain.


Di masa lalu, tukang koba adalah seorang profesional yang mengadakan pertunjukan di tempat-tempat keramaian (seperti di los-los pasar). Namun, sekarang penampilan koba lebih banyak bersifat undangan, baik di rumah-rumah perorangan atau untuk acara-acara perayaan yang diselenggarakan oleh masyarakat dan pemerintah.

Tempat penampilan koba tidak memerlukan ruang dan penataan khusus. Menjelang koba disajikan, tukang koba biasanya makan sirih bersama-sama khalayak. Kemudian ia mendendangkan sejumlah pantun yang berisikan kisah singkat perjalanan hingga sampai di tempat berkoba, dan menyampaikan terima kasih kepada khalayak yang hadir.

Adakalanya, khalayak membalas pantun-pantun yang disampaikan tukang koba. Bila tukang koba menggunakan alat musik, maka penceritaannya selalu diawali dengan pukulan-pukulan ritmis gendang babano.

Di sepanjang penceritaan, tukang koba mengambil waktu jeda. Waktu untuk beristirahat ini diisi dengan minum kopi, merokok, sambil makan sirih, serta berbincang dengan khalayak. Isi perbincangan beragam, bisa mengenai penggal cerita yang baru dituturkannya, bisa pula mengenai kehidupan sehari-hari dirinya atau khalayaknya.

Bila waktu jeda dirasakan oleh khalayak terlalu lama, maka di antara khalayak akan ada yang menyindir dengan mendendangkan pantun. Pantun sindiran itu biasanya dijawab oleh tukang koba, dan jual-beli pantun di antara dua bagian penceritaan ini menambah hangat suasana.


Suasana hangat juga dibangun melalui pantun berkias tukang koba tentang kecantikan, perangai, dan kata-kata salah seorang atau lebih khalayaknya. Bagi tukang koba profesional, menunda-nunda kelanjutan cerita tersebut juga dimaksudkan sebagai pemancing minat khalayak, dan khalayak yang tidak sabar dapat menawarkan dan memberikan bayaran tambahan kepada tukang koba, agar kobanya segera dilanjutkan. Dengan demikian, keseluruhan suasana dalam peristiwa berkoba semakin akrab, bersahaja, dan cenderung gembira atau menghibur.

Cerita-cerita yang disajikan tukang koba, umumnya adalah pengembaraan tokoh atau pahlawan-pahlawan rekaan lokal, dengan bentang-ruang horisontal yang terbatas pada selat-selat, teluk, tanjung, sungai-sungai, dan daratan pesisir. Sedangkan bentang-ruang vertikalnya mencakup bumi hingga kayangan.

Sebagian kecil dari korpus cerita koba dianggap sakral, karena menceritakan tokoh yang dikeramatkan oleh tukang koba. Untuk cerita yang demikian, penceritaannya tidak memerlukan perlakuan khusus. Namun saat menamatkannya, tukang koba melakukan ritual tertentu, dengan berdoa dan menyembelih ayam atau kambing pada petang sebelum cerita itu ditamatkan.

Orang yang punya hajat juga harus menyediakan seperangkat persembahan kepada tukang koba, yang terdiri dari pisau belati, sekabung kain putih, dan limau purut.

Sebagian tukang koba diperaya memakai ilmu petunang suara semaam ilmu batin yang diyakini dapat membuat suara lebih merdu, sehingga pendengarnya terpesona. Bahkan, di masa lalu, banyak kisah mengenai perempuan-perempuan muda yang jatuh cinta dengan tukang koba. Koba-koba yang terkenal misalnya Koba Panglimo Awang, Koba Gadih Mudo Cik Nginam, Koba Panglimo Dalong, dan Koba Dang Tuanku.

Share this:

Disqus Comments