-->

Salawat Dulang, Sastra Debat Minangkabau

Salawat Dulang, Sastra Debat Minangkabau

Salawat dulang merupakan sastra debat Minangkabau yang di beberapa daerah seperti di Pariaman dan Payakumbuh juga disebut dengan Salawat Talam. Istilah Salawat dulang atau Salawat talam ini berasal dari dua kata, yaitu salawat yang berarti salam atau doa untuk Nabi Muhammad SAW dan dulang atau talam adalah piring besar yang terbuat dari loyang atau logam yang biasa digunakan oleh masyarakat Minangkabau sebagai wadah untuk makan bersama.

Salawat dulang ini berasal dari Ulakan Pariaman, yang diperkenalkan pertama kali oleh Syeh Burhanuddin, pengembang agama Islam pertama di Minangkabau. Namun, salawat dulang ini kemudian lebih berkembang di dataran tinggi, seperti di daerah Malalo, Kabupaten Tanah Datar. Pada masa awalnya, pertunjukan salawat dulang adalah media dakwah keislaman tentang bacaan salawat, kajian tarekat, kisah Nabi dan Rasul, dan juga masalah syariat.


Namun, dalam perkembangannya berubah menjadi kompetisi uji kemampuan dengan cara saling bertanya-jawab tentang materi-materi dakwah Islam. Karena sudah mulai berkembang menjadi suatu kompetisi, pertunjukan salawat dulang pun tidak lagi dipertunjukkan hanya oleh satu orang atau satu grup (yang terdiri dari dua orang) saja.

Akan tetapi, pada satu pertunjukan salawat dulang ditampilkan minimal dua grup (tandaian). Grup-grup petarung ditampilkan secara bergantian dalam tiga sesi atau tanggak, yang tiap-tiap sesi atau tanggak berdurasi lebih kurang 3050 menit.

Kesenian Salawat Dulang merupakan salah satu dari jenis kesenian tradisional Minangkabau yang berkembang setelah masuknya Agama Islam. Kesenian ini awalnya digunakan sebagai media dakwah untuk menyebarkan Agama Islam yang isinya lebih banyak memuji Allah SWT dalam bentuk-bentuk syair-syair berbahasa Arab.


Kesenian yang menggunakan media dulang talam yang biasanya berbibir pada tepinya merupakan realisasi dari sejarah budaya Minangkabau Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Kemunculan tradisi lisan ini diperkirakan akhir tahun 1800-1900 SM. Kesenian ini awalnya berasal dari Aceh, dibawa oleh Syekh Burhanuddin dari Pariaman. Tahun 1970-an, kesenian ini sangat digemari baik yang muda sampai usia tua.

Salawat Dulang adalah sastra lisan Minangkabau yang bertemakan Islam, dipertunjukkan oleh dua orang atau lebih diiringi dengan tabuhan dulang, yaitu nampan kuningan yang bergaris tengah 65 cm. Dalam sastra rakyat Minangkabau, Salawat Dulang merupakan penceritaan cerita tentang kehidupan Nabi yang berhubungan dengan persoalan Agama Islam yang diiringi bunyi ketukan pada dulang.

Pertunjukan Salawat Dulang biasa dilakukan sehubungan dengan perayaan hari-hari besar Agama Islam, seperti peringatan tahun baru Hijriah, hari raya Idulfitri, Idul Adha, Maulid Nabi.


Dalam sekali pertunjukan biasanya minimal ada dua grup yang masing-masing terdiri dari dua orang tukan salawat. Di tempat pertunjukan telah disediakan pale-pale tempat duduk bagi grup salawat.

Bentuknya dibuat seperti panggung kecil yang dialasi dengan kasur dilengkapi dengan dua bantal. Pertunjukan dimulai setelah isya sampai menjelang subuh. Grup tampil secara bergantian dengan durasi tampil 40-60 menit.

Satu kali mereka tampil disebut satanggak atau sapaliangan. Pertunjukan salawat dilakukan dengan duduk bersila (sila longgar yaitu kaki kanan di atas betis kiri). Dulang diletakkan di atas pangkuan, di atas telapak kaki kanan.

Kaki kiri terletak di atas tepi dulang bagian atas. Pada bagian awal pertunjukan, tukan salawat meletakkan tangan kanan di atas paha kanan. Wajah menekur ke dulang dan umumnya menutup mata agar tukang salawat berkonsentrasi. Dalam dendang salawat dulang, penyampaian kaji tidak bisa beranjak dari sifat 20.

Share this:

Disqus Comments