Kriya serupa ini mulai dikenal pada masa Dinasti Ming (1368-1643 SM). Saat itu, malau awalnya dipakai untuk menulis pada batang bambu. Pada masa Dinasti Chou (1027-256 SM), laker dipakai untuk menghias piring dan alat makan lainnya.
Selanjutnya, laker dipakai untuk menghias tandu dan kereta kecil. Laker masuk ke Palembang bersamaan dengan masa awal Kerajaan Palembang (1587 M). Saat itu, rumah-rumah di Keraton Palembang dibangun dalam arsitektur limas. Interiornya diukir dan dicat dengan warna emas, merah manggis (maron), dan hitam. Para pengukir itu berasal dari Kwan Tung (Guangdong) atau Kanton.
Kedatangan penduduk Kanton suku Konghu ke Nusantara, terjadi sekitar abad ke-16 M. Kemampuan mereka dalam seni konstruksi dan seni ukir diakui di Nusantara. Sebagian besar suku Konghu (asal Guangdong) biasanya secara turun-temurun menjadi tukang kayu.
Mereka ini bahkan sampai mempunyai kelenteng khusus yang dipersembahkan kepada Lu Ban (Kelenteng Lu Ban-Lu Ban Gong) yang mereka anggap sebagai dewa pelindung para tukang kayu. Hasil penelusuran yang dilakukan di Palembang dan beberapa wilayah Palembang mengenai pembuatan ukiran dan hiasan rumah limas dan perabotan lak, menunjukkan adanya keterlibatan bangsa Cina.
Hanya saja, sumber-sumber wawancara hanya menyebutkan bahwa pengerjaannya dilakukan oleh orang Cina, tanpa menyebutkan asal dan suku pekerja itu. Berbeda dengan masa sekarang, warna emas memang berasal dari percampuran bubuk emas murni.
Karena itu pula, warna emas pada ukiran dan lukisan lak di rumah limas berikut perlengkapannya tidak pudar meskipun sudah berusia ratusan tahun.
Hingga saat ini, laker masih terus diproduksi di Palembang. Bentuknya mulai dari rek (lemari hias) dan sebangsanya, perlengkapan mebel, perlengkapan makan, bun (semacam mangkuk bertutup) dalam berbagai ukuran, dulang, vas bunga, guci, hingga beragam cendera mata.
Proses pembuatannya, kayu utuh dibentuk sesuai benda yang akan dibuat. Selanjutnya, diampelas hingga halus. Permukaan kayu yang halus diolesi dengan kalk, dikeringkan (tidak boleh terkena cahaya matahari langsung) dan kembali diampelas halus.
Setelah itu, dicat dengan pewarna merah. Kembali diampelas dan diberi hiasan (lukis) berbahan tinta Cina. Setelah bahan ini kering, dilapisi dengan lak. Pelapisan hanya boleh dilakukan dengan sekali kuas untuk menghindari perbedaan tekstur. Kembali dikeringkan di bawah cahaya matahari. Setelah kering, kembali diampelas.
Ragam hias yang dipakai untuk lak semula hanya flora karena pandangan rakyat Palembang kala itu, penggambaran makhluk hidup (berdarah) hukumnya haram dalam Islam. Baru setelah masa kolonial Belanda (pasca-kekalahan Kesultanan Palembang Darussalam pada 1821), masuk unsur hewan, terutama hewan mitologis Tiongkok, yaitu burung hong.