Tari yang ditampilkan pada upacara kematian usia uzur itu tidak terlepas dari pemenuhan kebutuhan yang bersifat spiritual maupun material dan merupakan ungkapan kreatif. Tari topeng ini hanya dipertunjukkan saat ada orang yang meninggal dunia pada usia lanjut. Karena tari ini hanya dipertunjukkan pada upacara kematian usia lanjut, masyarakat Simalungun enggan menampilkannya pada kegiatan lain karena pemunculan tari topeng hanya berhubungan dengan upacara kematian.
Tarian (tortor) toping-toping/huda-huda adalah tarian yang digunakan untuk menghibur yang berduka karena kematian orang tua yang sudah "sayur matua" dalam prosesi adat Simalungun. Kriteria yang disebut sayur matua dalam adat Simalungun adalah orang tua yang meninggal sudah lanjut usia, anak-anaknya sudah menikah semua dan telah mempunyai cucu dari anak yang sudah menikah tersebut.
Adanya tortor toping-toping/huda-huda di Simalungun bermula dari cerita kematian seorang putra raja pewaris tahta pada zaman kerajaan di Simalungun. Permaisuri raja yang merasa sedih atas kematian putranya, tidak mengizinkan putranya dimakamkan. Setelah berhari-hari jenazah putra raja itu tidak dimakamkan, terjadi proses pembusukan. Pembusukan jenazah mengakibatkan bau yang tidak sedap di lingkungan rumah bolon (istana) maupun ke pemukiman penduduk. Akibatnya bau tersebut menjadi perbincangan penduduk namun tidak seorangpun yang mampu untuk mengatakan kepada permaisuri agar jenazah itu dimakamkan.
Ketika beberapa orang penduduk asyik berbincang di suatu gubuk di ladang sembari minum tuak dan memakan hasil buruan mereka, seekor burung enggang yang sdh dimasak, pembicaraanpun menyasar ke hal yang lucu-lucu. Sembari tertawa-tawa, satu sama lain mempraktekkan hal-hal lucu yang membuat geli sesama mereka. Ada yang mengambil paruhnya enggang hasil buruan yang tidak ikut dimakan dan ditaruh di kepala sembari menari, ada juga yang mengambil kayu yang dibentuk seperti wajah dan dijadikan topeng sembari menari. Tarian mereka hanya diiringi tabuhan-tabuhan benda yang bisa menghasilkan nada.
Perilaku yang melucu itu akhirnya menimbulkan ide, bagaimana kalau mereka menari-nari seperti itu mengalihkan perhatian permaisuri, lantas jenazah diambil untuk dimakamkan. Namun mereka khawatir, jika ketahuan mengalihkan perhatian untuk mengambil jenazah, alamat menerima hukuman mati oleh raja. Lalu mereka mensiasatinya dgn menutup tubuh mereka dengan kain. Kepala seolah-olah kepalanya enggang, badannya dibentuk seperti kuda dan ekornya terbuat dari rotan yg menjulang tinggi. Demikian juga yg lain, topeng terbuat dari kayu dibentuk berwajah seorang laki-laki dan seorang lagi berwajah perempuan yang keduanya ditutupi kain.
Dengan menggunakan seperangkat alat musik Simalungun yg disebut gonrang, mereka bertiga menari didepan rumah bolon. Tabuhan gonrang yang tidak lazim, karena biasanya gonrang ditabuh disaat-saat adanya upacara adat, berhasil menarik perhatian permaisuri. Permaisuri terhibur karena perilaku manusia yang berkepala enggang itu menari, termasuk tarian laki-laki dan perempuan yang wajahnya ditutupi topeng. Akhirnya jenazah putra mahkota berhasil diambil dan dimakamkan ketika perhatian permaisuri tertuju kepada tarian toping-toping/huda-huda itu.
Masa kini, tortor toping-toping/huda-huda dipertontonkan saat prosesi adat kematian sayur matua orang Simalungun, ketika menyambut kedatangan tondong untuk melayat. Tondong adalah sebutan untuk keluarga ibu atau isteri yang berkabung. Dalam penyambutan itu semua keluarga besar yang berduka menari untuk menyambut tondong. Dan yang paling depan menari untuk menyambut tondong adalah toping-toping/huda-huda itu. Tujuannya agar tondong yang datang itu terhibur.