-->

Kain Lantung Bengkulu

Kain Lantung Bengkulu

Untuk mencari dan membedakan dengan jenis pohon lainnya, pencari pohon lantung memiliki keahlian tersendiri. Kulit pohonnya yang tebal dan memiliki serat, dengan lebar sekitar 1 (satu) sampai 3 (tiga) centimeter dan panjang pohon sekitar 5 (lima) sampai 7 (tujuh) meter. Pohon lantung yang baik biasanya berumur 4 (empat) sampai 5 (lima) tahun, semakin tua umurnya semakin baik kualitas kulit yang akan dibuat kain lantung tersebut.

Peralatan yang digunakan dalam mengambil kulit lantung tersebut yakni parang, dan pisau. Parang digunakan untuk memotong pohon lantung tersebut. Setelah pohon lantung rebah, lalu dibersihkan daunan dan ranting yang melekat pada pohon lantung tersebut. Langkah selanjutnya adalah memarut pohon lantung dan mengambil kulitnya dengan bantuan pisau.

Pisau ditorehkan ke batang pohon dan mengelupaskan kulit pohon lantung. Kulit lantung yang dikelupaskan biasanya berukuran 1 meter x 50 centimeter, dan ada juga berdasarkan pesanan. Sebetulnya, kulit lantung lantung yang telah sampai dirumah belum bisa begitu saja dipergunakan sebagai kain. Si pembuat kain lantung harus terlebih dahulu memisahkan kulit lantung yang dibawa dari hutan tersebut dan kemudian memukulnya dengan Perikai.

Perikai adalah sejenis alat pukul yang terbuat dari tanduk kerbau atau jenis kayu keras dengan ukuran panjang dan besarnya lebih 40 x 10 centimeter. Alat ini biasanya dibuat sendiri oleh pembuat kain lantung. Bahannya biasanya mereka ambil dari pohon yang berada dalam hutan yang ada disekitar mereka ataupun waktu mereka mencari kulit lantung tersebut.


Daerah Bengkulu memiliki hutan yang luas-tercatat tahun 1945 luas hutan yang ada di Propinsi Bengkulu yakni 1.200.000 hektar. Luas hutan yang demikian telah memungkinkan untuk ketersediaan bahan baku kulit lantung tersebut. Biasanya bahan baku kulit lantung berada di sela-sela pepohonan lainnya yang tumbuh liar. Untuk mencari dan membedakan dengan jenis pohon lainnya, pencari pohon lantung memiliki keahlian tersendiri.

Kulit pohonnya yang tebal dan memiliki serat, dengan lebar sekitar 1 (satu) sampai 3 (tiga) centimeter dan panjang pohon sekitar 5 (lima) sampai 7 (tujuh) meter. Pohon lantung yang baik biasanya berumur 4 (empat) sampai 5 (lima) tahun, semakin tua umurnya semakin baik kualitas kulit yang akan dibuat kain lantung tersebut. Peralatan yang digunakan dalam mengambil kulit lantung tersebut yakni parang, dan pisau. Parang digunakan untuk memotong pohon lantung tersebut.

Setelah pohon lantung rebah, lalu dibersihkan daunan dan ranting yang melekat pada pohon lantung tersebut. Langkah selanjutnya adalah memarut pohon lantung dan mengambil kulitnya dengan bantuan pisau. Pisau ditorehkan ke batang pohon dan mengelupaskan kulit pohon lantung. Kulit lantung yang dikelupaskan biasanya berukuran 1 meter x 50 centimeter, dan ada juga berdasarkan pesanan. Untuk membuat kain dari kulit lantung, ukuran kulit lantung yang dikelupas dari pohon lantung biasanya berukuran 1 meter x 30 centimeter.

Kulit lantung yang telah dikelupaskan dari pohon lantung tersebut kemudian dikumpulkan dan diikat lalu dibawa pulang ke rumah. Sebetulnya, kulit lantung lantung yang telah sampai dirumah belum bisa begitu saja dipergunakan sebagai kain. Si pembuat kain lantung harus terlebih dahulu memisahkan kulit lantung yang dibawa dari hutan tersebut dan kemudian memukulnya dengan Perikai. Perikai adalah sejenis alat pukul yang terbuat dari tanduk kerbau atau jenis kayu keras dengan ukuran panjang dan besarnya lebih 40 x 10 centimeter.


Alat ini biasanya dibuat sendiri oleh pembuat kain lantung. Bahannya biasanya mereka ambil dari pohon yang berada dalam hutan yang ada disekitar mereka ataupun waktu mereka mencari kulit lantung tersebut. Kulit lantung tersebut dipukul dengan perikai tersebut sampai tipis. Setelah kulit lantung menjadi tipis, untuk menentukan kulit lantung tipis atau belum biasanya pembuat kain lantung hanya berdasarkan kepada kondisi kulit lantung yang dipukul dengan perikai tinggal serat-serat kulitnya saja.

Langkah selanjutnya yakni menjemur kulit lantung yang terdiri dari serat tipis tersebut dibawah terik matahari. Biasanya menjemur kulit lantung tersebut sekitar 1 (satu) minggu dengan kondisi cuaca yang panas. Semakin lama penjemuran menghasilkan kulit lantung yang baik begitu juga sebaliknya.

Tidak ada motif atau ragam hias dalam membuat baju dari kulit lantung ini. Mereka hanya berprinsip untuk memutup aurat dan melindungi tubuh dari udara dingin. Begitu juga dengan selimut dan tali pengikat dari kulit lantung ini. Seperti yang dituturkan oleh Bustami : Tidak ada motif atau ragam hias yang dibuat pada waktu itu, hanya saja membuat kain dari kulit lantung guna menutupi aurat dan melindungi tubuh. Masyarakat mempergunakan ini karena harga bahan kain waktu itu mahal.

Kendatipun demikian halnya, membedakan kain dari kulit lantung yang dipakai oleh laki-laki dan perempuan memang ada, yakni kain laki-laki biasanya membuat pola celana dan baju, sedangkan perempuan membuat rok dan baju yang menutupi seluruh anggota tubuh. Anehnya, dalam segi celana dalam mereka pada umumnya tidak mempergunakan kain lantung tapi terbuat dari kain dril, biasanya mereka peroleh dari tukang jahit dan mereka beli langsung di pasar dengan celana dalam yang sudah bisa langsung dipakai.

Sangat sulit untuk menjelaskan tentang sistem pemasaran kulit lantung tersebut, pertama minimnya data untuk menjabarkan hal tersebut karena berkaitan dengan data pada masa pendudukan tentara Jepang sulit dan langka untuk diakses. Kendatipun demikian, sumber lisan untuk menjabarkan hal ini sangatlah membantu.

Menurut informasi Bustami, tidak ada sistem pemasaran yang baku pada waktu itu. Masyarakat hanya mencari dan membuat langsung kain lantung dari kulit lantung tersebut. Orientasi pengembangan ekonomi penguasa fasisme Jepang, lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya dalam menghadapi perang Asia Pasifik.


Oleh sebab itu pemerintahan fasisme Jepang menekankan kepada masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan akan bahan pangan.

Agar maksudnya itu dapat berjalan, sesuai dengan tujuan dikeluarkannya kebijakan ekonomi perang Jepang, maka fasisme Jepang mengambil beberapa langkah-langkah untuk dapat memperoleh dan menutupi kekurangannya baik dalam bidang pangan dan maupun militer, langkah-langkah tersebut antara lain : Langkah pertama, Jepang menguasai seluruh sektor ekonomi termasuk bidang pertanian. Langkah kedua, yaitu Jepang memberikan penyuluhan terhadap petani untuk meningkatkan hasil pertanian khususnya padi, dengan mengunakan tenaga-tenaga ahli pertanian.

Langkah ketiga, Jepang melakukan monopoli pembelian dalam menentukan harga dari suatu jenis barang dan melakukan penumpukan bahan sandang di gudang sehingga rakyat sulit memperoleh bahan pakaian.

Guna memenuhi bahan sandang tersebut, masyarakat menggantinya dengan mempergunakan kulit kayu sebagai bahan pakaian yang dikenal pada waktu itu dengan lantung, di Sumatera Barat dikenal dengan tarok. Selain itu, Jepang melarang masyarakat menyimpan uang lebih dari Rp. 100, - kecuali mata uang Rp. 10,- dan Rp. 5,-. Dengan sendirinya hanya sebagian kecil saja yang mampu untuk membeli pakaian.

Kain lantung bagi masyarakat Bengkulu merupakan bagian dari perjalanan sejarah, karena benda ini keberadaannya lahir dari hasil budaya masyarakat Bengkulu pada situasi dan kondisi dalam masa perjuangan melawan penjajah. Fungsi benda ini pada masa itu sebgai pelindung atau pakaian. Keberadaan kain itu diperkirakan sekitar tahun 1943 atau satu tahun Jepang menanamkan kekuasaannya di Indonesia.

Keadaan perekonomiam masyarakat pada waktu itu menyulitkan masyarakat dalam mencari atau membeli pakaian atau kain lantung atau drill, oleh karena itu timbul pemikiran bagaimana mendapatkan pengganti kain untuk pelindung tubuh, maka muncullah ide pembuatan kain lantung sebagai alternative. Hutan dengan bermacam jenis pepohonan pada waktu itu yang menjadi bahan pokoknya.


Pada mulanya dicari jenis pohon yang kulitnya bergetah, karena kulit kayu yang mengandung getah tidak mudah rusak. Bahan kain lantung diambil dan kulit kayu pohon karet, hutan, ibuh, trap dan kedui yang sudah tua umurnya. Semakin tua umur pohon semakin baik mutu kain lantung yang dihasilkan.

Alat yang diperlukan dalam pembuatan kain lantung ini adalah ?perikai? yaitu sejenis alat pukul yang terbuat dari tanduk kerbau atau jenis kayu keras dengan ukuran panjang dan besarnya sekitar 40x10 cm.

Apabila semua perlengkapan sudah siap, maka kulit kayu yang sudah dipotong menurut ukuran yang diinginkan tersebut terus dipukul-pukul sampai menjadi lebar, tipis, lembut dan rata, sehingga menjadi lembaran atau kain kulit kayu. Sesudah menjadi lembaran kain dikeringkan dengan cara di angin-anginkan di tempat yang teduh sambil dibersihkan dengan sapu lidi.

Penggunaan kain lantung disesuaikan dengan keinginan si pemakai dalam arti bahwa kain lantung tersebut dapat dibuat atau dibentuk menjadi baju lantung, celana atau hanya kain saja. Proses pembuatan kain lantung terdapat dua cara, yakni dijahit dengan benang (ambak) yang bahannya dari se.rat kulit kayu kloi, cara kedua dengan bahan dasarnya getah kayu karet hutan.

Share this:

Disqus Comments