-->

Lomba Berahu Bidar berlangsung sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam

Lomba Berahu Bidar berlangsung sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam

Dahulu, untuk menjaga keamanan wilayah, diperlukan sebuah perahu yang larinya cepat. Kesultanan Palembang kemudian membentuk patroli sungai dengan menggunakan perahu. Ketika itu perahu berpatroli disebut perahu pancalang, berasal dari pancal dan lang/ilang.


Pancal berarti lepas, landas dan lang/ilang berarti menghilang. Singkatnya pancalang berarti perahu yang cepat menghilang. Perahu ini dikayuh 8-30 orang, bermuatan sampai 50 orang. Memiliki panjang 10 sampai 20 meter dan lebar 1,5 sampai 3 meter. Karena bermuatan banyak orang. Pancalang juga digunakan sebagai alat angkutan transportasi sungai.

Raja-raja dan pangeran kerap pula menggunakan pancalang untuk plesiran. Pancalang, selain sebagai perahu penumpang, ia juga dijadikan sarana untuk berdagang di sungai. Atapnya berbentuk kajang, kemudinya berbentuk dayung dan digayung dengan galah atau bambu.

Menurut para ahli sejarah, perahu Pancalang inilah asal muasal lahirnya perahu bidar. Agar terjaga kelestarian perahu bidar, digelarlah lomba perahu bidar yang berlangsung sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam.

Dahulu lomba ini sering disebut dengan sebutan kenceran. Kini, tampilan perahu bidar sedikit berbeda dengan masa Kesultanan Palembang. Ada dua jenis yang kini dikenal. Pertama, perahu bidar berprestasi, yang memiliki panjang 12,70 meter, tinggi 60 cm dan lebar 1,2 meter.

Jumlah pendayung 24 orang, terdiri dari 22 pendayung,1 juragan serta 1 tukang timba air. Jenis kedua perahu bidar tradisional, yang memiliki panjang 29 meter, tinggi 80 cm serta lebar 1,5 meter. Jumlah pendayung 57 orang, terdiri dari 55 pendayung, 1 juragan perahu serta 1 tukang timba air.

Share this:

Disqus Comments