-->

Resensi Buku: Psikologi Keluarga, dari Keluarga Sakinah hingga Keluarga Bangsa

Resensi Buku: Psikologi Keluarga, dari Keluarga Sakinah hingga Keluarga Bangsa

Ada tiga peristiwa yang dirasakan penting oleh setiap manusia, yaitu peristiwa kelahiran, perkawinan dan kematian. Kelahiran tidak saja penting bagi yang dilahirkan, tapi juga bagi ibu yang melahirkan, bagi ayahnya dan segenap anggota keluarganya. Kelahiran bukan saja mendatangkan kebahagiaan, tetapi juga mempengaruhi jalannya sejarah. Perkawinan juga bukan hanya dirasakan penting oleh kedua mempelai, tetapi juga oleh keluarga besarnya. Peristiwapernikahan juga bukan saja mendatangkan kebahagiaan bagi yang terlibat, tetapi tak jarang mengubah jalannya sejarah. Peristiwakematian juga sangat menarik perhatian. Bagaimana yang dialami oleh si mati tidak ada yang tahu, tetapi yang terseret oleh perasaan sebagai akibat dari adanya ;peristiwa kematian jumlahnya sangat banyak, sekurang-0kurangnya keluarga dan handai taulannya. Peristiwa kematian bukan hanya menyedot perasaan banyak orang, sedih dan haru, tetapi juga merubah jalannya sejarah (h. 1).

Paragraf ini adalah paragraf pembuka buku berjudul Psikologi Keluarga, dari Keluarga Sakinah hingga Keluarga Bangsa. Mubarok hendak menyampaikan bahwa keluarga merupakan entitas yang sangat penting dalam kehidupan seorang. Baik peristiwa kelahiran, pernikahan maupun kematian, dampak psikologinya kesemuanya berada dalam lingkup keluarga. Ciri hidup keluarga adalah adanya ikatan emosionil yang alami, kkonstan dan sering mendalam dalam dinamika hubungan solidaritas, dimana dalamkeadaan normalterdapat rasa saling ketergantungan, saling membutuhkan dan saling membela. Keluarga dibangun dari ikndividu-individu yang masing-masing memiliki keunikan psikologis, sehingga membangun keluarga tidak sekedar cukup dengan pendekatan teknis, tetapi juga pendekatan psikologis.

Pada bagian awal, penulis mengemukakan kilas balik perkembangan keilmuan psikologi dalam sejarah kehidupan manusia, dimulai dari psikoanalisis ala sigmund Freud, behaviourisme, kognitif hingga psikologi humanistik yang memandang manusia dari perspektif positif. Meminjam Uichol Kim (1990), Mubarok mengingatkan kita bahwa manusia tidak cukup difahami dengan psikologi barat karena psikologi barat sesungguhnya hanya tepat untuk mengkaji manusia barat sesuai dengan kultur yang metarbelakangi ilmu tersebut. Untuk memahami manusia di belahan bumi lain harus digunakan psikologi dengan basis kultur di mana manusia itu hidup. ” Psychology has traditionally meant Western Psychology, using the assumption that human universals ( i e generalization about human activity and experience) hold true for humankind because they hold true in western society. But psychology as practiced in other parts of the world, raises and alternative view of human behavior. Indeed, human universals are problematic and need to be revealed through and examination of multiple indigenous psychology in order to establish comparison between cultures. Indigenous psychology may be defined as a psychological knowledge that is native, that is not trans[ported from another region, and that is designed for its people. In other words, indigenous psychology is understanding rooted in a particular associated culture context.


Masih dalam konteks pembuka, pada Bab II, Mubarok bertutur tentang kedudukan manusia sebagai makhluk sosial selain kedudukannya sebagai makhluk individual. Manusia tetap saja adalah sebuah misteri, sama halnya dengan misteri tentang alam. Semakin banyak dimensi yang telah diketahui, justeru akan mengabarkan kepada kita bahwa hal-hal yang masih belum diketahui justeru lebih banyak lagi. Dalam ranah individual, manusia yang diibaratkan sebagai miniatur alam dilengkapi dengan kelengkapan menjadi dirinya sebagai individu disamping kelengkapan untuk menjadi bagian dari kemanuisaan secara universal. Manusia memiliki apa yang disebut sebagai fitrah, yakni apa yang menjadi kejadian atau bawaan semenjak lahir. Desain kejiwaan yang sempurna, keberagamaan, serta kedudukannya yang terikat oleh masyarakat dan lingkungan sosialnya adalah sebagian dari fitrah kemanusiaan. Tingkah laku manusia dalam kehidupannya, baik pribadi maupun sosial didasari oleh beberapa hal, antara lain instinct, adat kebiasaan, keturunan, lingkungan, motivasi, keinsyafan. Sebagai penutup bab ini, dikupas pula hukum-hukum dasar tentang perilaku manusia.

Memasuki bab ketiga, penulis sudah secara spesifik mengantar pembaca pada relasi keluarga, yang diawali dari cinta. Kupasannya meliputi hati dan isinya, cinta sebagai motif penggerak, ragam cinta serta ditutup dengan sebuah pertanyaan retoris, kapan datangnya cinta?

Setelah pembahasan tentang cinta dan asal-usulnya, agar keindahan cinta tidak segera sirna, benih-benih cinta perlu dijaga dalam satu ikatan bernama kontrak cinta yang dalam masyarakat kita lazim disebut sebagai ikatan perkawinan. Achmad Mubarok memberikan tuntunan tentang bagaimana memilih pasangan hidup, karena sejatinya, kontrak cinta bernama pernikahan adalah kontrak seumur hidup antara dua individu dimana mereka bukan saja akan selalu bersama dalam suka, tetapi juga kala duka menyapa. Sungguh sangat disayanglkan apabila seseorang salah memilih pasangan hidupnya karena hal tersebut bisa jadi akan membawa kehancuran dan penderitaan dalam rentang panjang kehiduannya.

Secara umum, menurut Mubarok, ada empat pertimbangan yang secara sosial selalu diperhatikan pada calon pasangan yang akan dipilih, yaitu harta, keturunan, kecantikan dan agama. Faktor harta juga tidak ada salahnya dipertimbangkan, tapi yang ideal buka sekedar menimbang harta dari kalkulasi jumlah materi semata, faktor dari mana materi itu didapat serta kemana materi itu dibelanjakan juga tidak kalah penting untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Faktor keturunan mesti diperhitungkan karena pewarisan genetika dari orang tua kepada anaknya tidak dapat kita pungkiri. Dalam kultur Jawa, faktor bobot, bibit dan bebet calon menantu benar-benar diperhitungkan dengan cermat agar trah yang mengalir adalah ’trah’ yang terhormat dan mulia.

Faktor fisik berupa kecantikan atau ketampanan juga tidak salah untuk diperhatikan karena secara umum, manusia lebih senang dengan sesuatu yang lebih indah, lebih cantik dan lebih menarik. Terakhir adalah faktor agama yang secara substantif dimiliki oleh individu, bukan sekedar status agama namun tidak pernah terejawantah dalam kehidupan kesehariannya. Peringatan terakhirnya adalah, sungguh, barang siapa memilih pasangan semata-mata karena kecantikan, atau semata-mata karena harta atau karena semata-mata keturunan darah biru dan priyayi terhormat, maka nantikan saaatnya ketika faktor-faktor keunggulan tersebut bisa jadi akan membawa kepada malapetaka. Dengan demikian, mengenali karakteristik calon pasangan diperlukan agar seseorang tidak seperti sedang memilih kucing dalam karung. Setelah keputusan dibulatkan, maka langkah terakhir sekaligus adalah langkah awal menuju gerbang keluarga adalah perkawinan atau akad nikah.


Pasangan ideal dari kata keluarga, menurut Mubarok dalam prolog bab kelimanya adalah kata bahagia. Maknanya, tujuan orang membina rumah tangga adalah mencari kebahagiaan hidup. Di sinilah arti penting seni membina keluarga menjadi dominan. Konsep keluarga bahagia yang sangat populer dalam masyarakat kita adalah keluarga sakinah (yang mawaddah warahmah), idiom yang selalu terdengar di setiap upacara pernikahan. Sakinah sendiri memiliki arti tenang, terhormat, aman, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Mawaddah adalah jenis cinta yang membara, yang menggebu-gebu dan ”nggemesi”. Sedangkan rahmah adalah sejenis cinta yang lembut, siap berkorban dan melindungi apa saja yang dicintai.

Perjalanan mengarungi bahtera keluarga akan menunjukkan kepada para pelakunya tentang makna hidup (the meaning of life) . Kuncinya adalah pada pandangan hidup (way of life) yang benar. Perjalanan memperoleh pandangan hidup bisa dikaji melalui beberapa pertanyaan, yakni dari mana, mau kemana, serta untuk apa manusia diciptakan. Atau pertanyaan lain yang hampir sama tantang apa tujuan, tugas dan fungsi kehidupannya.

Mengemudi bahtera rumah tangga untuk mencapai dermaga kebahagiaan bukanlah perkara yang sepele. Lautan kehidupan sepert tak bertepi, dan medan hamparan kehidupan sering tiba-tiba berubah. Pernik-pernik kehidupan bisa jadi menjadi sandungan dalam kehidupan berkeluarga, misalnya berkaitan dengan kesulitan , cobaan hidup, rejeki, egoisme serta perkembangan psikologi pasangan. Menghadapinya jelas butuh kearifan.

Pada bagian akhir, Mubarrok mengangkat sebuah fenomena bahwa pada hakekatnya keluarga adalah pilar masyarakat, bahkan pilar bangsa sehingga sudah saatnya kita membangun keluarga bangsa yang benar-benar kokoh. Bangsa kita, tak ubahnya adalah sebuah keluarga, keluarga bangsa Indonesia dengan agenda dasar mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama, baik lahir maupun batin. Langkah strategis yang ditawarkan Mubarok dalam akhir tulisannya adalah menjamin pengelolaan penyelenggaraan negara secara baik dan benar (good governance) , meningkatkan keamanan masyarakat dan ketahanan wilayah NKRI, membenahi ekonomi secara demokratis, meningkatkan komitmen penegakan hukum, menetapkan strategi pendidikan nasional, menggalakkan diplomasi internasional sera melakukan rekonsiliasi nasional.

Buku Psikologi Keluarga, dari keluarga sakinah hingga keluarga bangsa nampaknya layak dan menarik untuk dibaca di tengah terbatasnya buku yang mengupas tentang psikologi keluarga yang khas Indonesia. Apalagi buku ini ditulis tidak sekedar dari telaah teoritis, tetapi juga banyak mengambil contoh kasus serta fenomena di masyarakat yang ditangani oleh Achmad Mubarok, penulis buku ini. Sebagai penutup, sudah saatnya kita terjaga bahwa keluarga adalah pilar kehidupan, tempat dimana kita bisa menemukan mekna kehidupan dan kebahagiaan.


Oleh: Achmad M. Masykur, Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
Judul Buku: Psikologi Keluarga, Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa
Pengarang: Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA
Cetakan / Terbit: I / April 2005
Penerbit: PT Bina Rena Pariwara
Jumlah Halaman: 253 + viii hlm

Share this:

Disqus Comments